Genap setahun sudah warga Jakarta memenangkan gugatan tentang polusi udara. Pada 16 September 2021, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan sebagian gugatan warga (citizen lawsuit) atas kasus pencemaran udara di Jakarta, yang diajukan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota). Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, sebagai salah satu tergugat, memilih untuk tidak banding atas putusan tersebut.
Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Asep Kuswanto, Pemprov DKI Jakarta mengambil sikap untuk tidak banding atas dasar keyakinan bahwa hak-hak warga negara harus dipenuhi. Berbagai langkah pun terus ditempuh untuk memperbaiki kualitas udara di ibukota.
“Kami telah mengeluarkan berbagai regulasi dan menyusun strategi penanggulangan pencemaran udara. Kami mengembangkan Kawasan Rendah Emisi di Kota Tua, transportasi publik yang terintegrasi dengan armada berbahan bakar listrik maupun gas, memperlebar trotoar, juga membangun ruang terbuka hijau agar warga Jakarta dapat berkumpul menikmati udara yang lebih baik,” papar Asep dalam acara bincang-bincang bertajuk Satu Tahun Putusan Gugatan Warga tentang Polusi Udara: Apa yang Sudah Dilakukan di Jakarta?, bagian dari rangkaian acara IniJakarta di Kawasan Kota Tua Jakarta, Sabtu (17/9) lalu.
Strategi tersebut, Asep menjelaskan, turut mencakup upaya untuk mengendalikan polusi udara di Jakarta langsung dari sumbernya, seperti kendaraan bermotor dan kegiatan industri. Hal ini selaras dengan bagian dari amanat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas gugatan warga, yaitu menyusun dan mengimplementasikan strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara. Langkah ini ditempuh dengan mempertimbangkan penyebaran emisi dari sumber pencemar secara terfokus dan tepat sasaran, serta melibatkan partisipasi publik.
Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan dan Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), ikut menyoroti pentingnya langkah ini.
“Awasi sumbernya, dan berikan sanksi kalau melanggar, baik itu datang dari sumber bergerak seperti kendaraan bermotor, maupun sumber tidak bergerak,” tegas Fajri dalam kesempatan yang sama, seraya menjelaskan mengapa strategi dan rencana aksi diperlukan untuk implementasinya. “Strategi ini penting, karena rencana-rencana di dalamnya menjadi terukur, ada batas waktu, dan apa saja langkah-langkahnya,” tambahnya.
Untuk mengendalikan emisi dari sumber bergerak, salah satu langkah awal Pemprov DKI Jakarta adalah mengadakan uji emisi, baik yang gratis maupun berbayar, yang diwajibkan bagi kendaraan bermotor berusia di atas tiga tahun. Tanpa lulus uji emisi, pengguna kendaraan bermotor nantinya harus bersiap membayar tarif parkir lebih tinggi, dihadang tilang saat melaju di jalanan Jakarta, hingga tidak bisa memperpanjang STNK.
Di mata Senior Policy and Development Associate Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia Etsa Amanda, rangkaian disinsentif tersebut menunjukkan bahwa Pemprov DKI Jakarta memahami pentingnya meregulasi kendaraan bermotor dalam rangka mengendalikan polusi udara.
“Untuk mengatasi emisi dari segi transportasi, kami mendorong adanya upaya mengalihkan masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi ke transportasi publik maupun kendaraan tidak bermotor seperti sepeda. Selain memberikan insentif ke pengguna kendaraan umum dan sepeda, perlu juga ada disinsentif agar warga berpikir dua kali untuk menggunakan kendaraan pribadi,” tutur Etsa, seraya menggarisbawahi pentingnya pengembangan infrastruktur untuk mengakses transportasi publik. “Dengan adanya akses first and last mile menuju transportasi publik yang sudah ada, trotoar maupun jalur sepeda bisa terkoneksi ke titik transit terdekat dari tempat tinggal warga,” lanjutnya.
Sementara itu, sebagai salah satu contoh penghasil emisi dari sumber tidak bergerak, cerobong pabrik-pabrik di kawasan industri di Jakarta tak luput dari pemantauan ketat. Juni lalu, Pemprov DKI Jakarta mencabut izin lingkungan PT Karya Citra Nusantara (KCN) di Marunda, Jakarta Utara, sebagai tindak lanjut atas keluhan warga akan dampak polusi debu batu bara, yang timbul dari kegiatan industri.
Perlahan tapi pasti, langkah-langkah yang ditempuh oleh Pemprov DKI Jakarta mulai menunjukkan hasil yang menuai apresiasi warga.
“Sebagai warga Jakarta, saya melihat inisiatif yang ada sudah bagus. Ada aplikasi Jaki yang punya fitur ISPU (Indeks Standar Pencemaran Udara), transportasi publik juga makin berkembang. Harapan saya, ada insentif ataupun disinsentif bagi pabrik-pabrik maupun kendaraan bermotor terkait emisi yang mereka keluarkan,” ungkap Raihana Putri, warga Jakarta Utara, yang ketika berangkat dan pulang kerja harus berjibaku dengan polusi udara saat melintasi Kawasan Industri Pulogadung. “Kami ingin menghirup udara bersih dan kualitas hidup yang lebih baik, dan ini dapat diperoleh dengan pengendalian pencemaran udara,” pungkasnya.