Penulis : Fikri Indra Mualim
Editor : Abel Pramudya
Sejarah Jakarta sebagai kota pelabuhan membuat aktivitas perdagangan di kota ini selalu jadi perhatian. Jakarta kemudian menjelma sebagai titik temu, sebuah melting pot dalam berbagai hal: sosial, budaya, hingga ekonomi.
Ada banyak sisi positif di dalamnya, tapi bagaikan sebuah koin, ada sisi lain yang juga kurang mengenakkan bagi kota berusia 495 tahun ini.
Berbeda dengan periode kolonial di mana rempah-rempah adalah hal yang mewah, kini batu bara yang menjadi salah satu primadona. Hal ini terjadi bukan tanpa sebab. Kini, di Marunda, Jakarta Utara, terdapat beberapa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), yang menjadikan batu bara sebagai sumber bahan baku utama.
Keberadaan PLTU tak lepas dari proses bongkar-muat batu bara. Nyatanya, proses tersebut menjadi polemik, lantaran dianggap sebagai penyebab terusiknya kesehatan 11.000 warga Marunda.
Tidak cukup diramaikan dengan debu dan asap kendaraan bermotor, kini setiap napas warga Marunda juga harus diisi dengan polusi proses bongkar-muat batu bara. Bukan sekadar batuk atau sesak napas, polusi batu bara yang terhirup ke dalam tubuh mampu menyebabkan banyak dampak berbahaya bagi kesehatan.
Bagi Ropiqoh, warga asli Marunda, berhembusnya debu batu bara ke pemukiman warga, terutama pada musim angin barat, dari bulan September 2021 sampai Mei 2022 lalu, membawa dampak membahayakan bagi masyarakat, khususnya anak-anak dan orang lanjut usia (lansia).
“Anak-anak dan bayi banyak yang gatal-gatal kulitnya, lansia yang punya penyakit bawaan seperti paru-paru atau jantung sampai harus berobat. Orang dewasa sudah punya kesadaran sendiri untuk memakai masker, tapi anak-anak yang bosan di rumah dan ingin main di luar, pakai masker setengah jam sudah tidak betah,” ungkap Ropiqoh, saat ditemui dalam rangka kunjungan media training tentang polusi udara di Marunda, Jakarta Utara, Rabu (3/8) lalu.
Upaya menjaga kesehatan keluarga pun membawa tantangan baru bagi perempuan-perempuan di Marunda, termasuk para ibu rumah tangga seperti Ropiqoh. Ibu satu anak ini mengakui, ia harus bekerja ekstra agar tempat tinggalnya tetap bersih. Selain bolak-balik mengepel lantai yang lengket terkena debu batubara, Ropiqoh juga memasang jaring penangkap debu, merapatkan jendela, hingga memastikan pintu rak-rak dapur selalu tertutup rapat.
“Kalau dibilang Marunda jorok atau apa, sebenarnya itu karena polusi. Kami mencuci seperti biasa, tapi karena udara di sekitar kami tidak bersih, jadi kotor terkena debu, jadi terkesan kumuh, dekil, dan kumal,” tegas Ropiqoh. “Kalau jemur baju, jangankan satu jam, lima menit saja baju yang tadinya putih bisa berubah warna, apalagi baju seragam sekolah anak,” tambah ibu satu anak ini.
Langkah terfokus agar udara bersih tetap berhembus
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Lingkungan Hidup tak tinggal diam menyaksikan dampak-dampak kesehatan yang muncul dari polusi udara. Dua tahun terakhir, Jakarta rajin memberikan sanksi terhadap usaha-usaha yang melakukan pelanggaran terhadap aturan lingkungan hidup. Total 87 usaha diberikan sanksi dengan rincian 27 sanksi pada usaha sektor industri, 22 sanksi bagi perkantoran, dan terakhir 18 sanksi untuk beberapa apartemen di Jakarta.
Angka tersebut termasuk sanksi yang diberikan kepada PT KCN, perusahan yang bergerak di bidang jasa bongkar muat. Aktivitas bongkar-muat batu bara yang dilakukan dianggap menjadi penyebab polusi yang terjadi dan membahayakan kesehatan warga di sekitar kawasan.
Bahkan, karena dinilai tidak menjalankan sanksi administratif yang diberikan, Dinas Lingkungan Hidup mencabut izin lingkungan perusahaan tersebut pada pertengahan Juni 2022. Sikap ini menjadi bukti konsistensi pemerintah Jakarta dalam melakukan pengawasan lingkungan.
“Bapak Gubernur menegaskan, Pemprov DKI Jakarta harus mengutamakan kelestarian lingkungan dan bertindak tegas terhadap pelanggaran,” tutur Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto di Jakarta, Senin (20/6).
Sejak PT KCN berhenti beroperasi, Ropiqoh mengakui keadaan mulai membaik. Masyarakat pun bisa mulai kembali berkumpul dan beraktivitas dengan tenang, seperti main di luar rumah atau mengikuti kegiatan pengajian.
“Selama ini, karena polusi dan juga pandemi, kami di rumah saja, anak-anak pun hanya mengaji bersama kami. Sebagai orang tua, kami hanya bisa berpesan agar mereka tidak berlama-lama main di luar ataupun jajan sembarangan, memakai masker saat ke luar rumah, dan cuci tangan setelahnya,” pungkas Ropiqoh.
(aii)
Jakarta terus berupaya menjaga kesehatan seluruh kota. Dukungan kepada kota perlu terus diberikan dalam menjaga kualitas udara demi hidup yang bahagia. Mari, bantu wujudkan udara bersih di Jakarta!