Kendalikan Polusi dengan Sekolah Negeri Nol Emisi

Dipublikasikan pada: 07 October 2022

Kendalikan Polusi dengan Sekolah Negeri Nol Emisi

Sebagai salah satu jenis ruang kedua atau tempat berkegiatan, sekolah menjadi ruang di mana masyarakat menghabiskan banyak waktu selain di tempat tinggal mereka. Di sekolah, anak-anak menimba ilmu dan bersosialisasi, dengan bimbingan para guru maupun tenaga kependidikan. Di sinilah generasi penerus bangsa mempersiapkan diri menghadapi berbagai tantangan masa depan, mulai dari globalisasi hingga perubahan iklim.

Di Jakarta, salah satu langkah untuk menjawab tantangan ini adalah mempersiapkan infrastruktur publik yang menggunakan pendekatan bangunan hijau. Ini berarti, seluruh kebutuhan energi bangunan berasal dari sumber energi terbarukan, sehingga meminimalisir emisi karbon yang dihasilkan hingga mencapai batas nol.
 
Di antara bangunan-bangunan hijau bersertifikasi Greenship Net Zero dari Green Building Council Indonesia, ada empat sekolah negeri: SMAN 96 di Jakarta Barat, SDN Duren Sawit 14 di Jakarta Timur, dan SDN 09 Grogol Selatan serta SDN Ragunan 08 dan 09 Jakarta Selatan. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebutnya sebagai Sekolah Negeri Net Zero, dan menjadi empat sekolah negeri pertama di Indonesia yang memiliki sertifikasi tersebut.
 
“Sekolah Negeri di Jakarta harus memancing rasa ingin tahu, menjadi medium belajar dan menjadi ruang tumbuhnya semua potensi diri. Sekolah Negeri Net Zero bertekad melangkah lebih jauh lagi, yaitu mendidik siswanya untuk menjadi pembawa perubahan dan mempengaruhi sekelilingnya tentang pentingnya umat manusia bekerja bersama menyelesaikan masalah krisis iklim global,” terang Anies saat peresmian Sekolah Negeri Net Zero di SDN Ragunan 08, Rabu (28/9) lalu.

Dekarbonisasi, atau proses mengurangi emisi karbon hingga titik terendah, kerap dikaitkan dengan kendaraan bermotor. Namun, bangunan memiliki kontribusi yang tak kalah besar, mulai dari material yang digunakan untuk membangun hingga energi yang dihabiskan untuk operasional sehari-hari.
 
Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat, kawasan perkotaan mengonsumsi 60 hingga 80% energi di dunia, dan memproduksi 75% emisi karbon dioksida. Menurut data International Energy Agency pada 2018, 36% dari konsumsi energi dan hampir 40% dari emisi tersebut berasal dari bangunan. Menurut Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), emisi dari kegiatan operasional bangunan mencapai tingkat tertinggi pada 2019. Oleh karenanya, pembangunan bangunan-bangunan hijau menjadi bagian penting dari upaya memperbaiki kualitas udara di Jakarta.
 
Di sisi lain, sekolah adalah bangunan milik Pemprov DKI dalam jumlah terbanyak. Pada 2021, terdapat 5.332 bangunan sekolah di Jakarta. Program Sekolah Negeri Net Zero dipandang sebagai langkah awal upaya menyeluruh terhadap penanggulangan emisi di ibu kota. Sebagai sebuah ruang berkegiatan, sekolah menjadi wadah interaksi bagi peserta didik, pendidik, dan orang tua. Bangunan sekolah yang dirancang dengan tepat pun dapat mendukung jalannya proses pembelajaran agar menjadi lebih baik dan menyenangkan.
 
Untuk dapat dikategorikan sebagai Sekolah Net Zero, ada beberapa syarat dasar yang perlu dipenuhi. Pertama, adanya sirkulasi udara yang semaksimal mungkin memanfaatkan ventilasi alami. Kedua, tingkat suhu dan kelembapan udara yang mendukung kenyamanan termal manusia. Ketiga, kenyamanan visual yang memanfaatkan pencahayaan alami. Yang tak kalah penting adalah penggunaan energi yang rendah dan efisien, sehingga berkontribusi dalam menetralkan emisi karbon.
 
Di empat Sekolah Negeri Net Zero pertama di Jakarta, syarat-syarat ini terwujud dalam cara yang beragam, mulai dari penggunaan ventilasi silang yang meminimalisir kebutuhan penyejuk udara (AC) hingga pemasangan panel surya di atap bangunan.
 
Pembangunan Sekolah Negeri Net Zero di Jakarta merupakan hasil kolaborasi dengan firma-firma arsitek terkemuka di tanah air, dengan mempertimbangkan kondisi lokasi dan lingkungan sekitar bangunan.

Untuk SMAN 96 yang berada di area rawan banjir, firma arsitek Andramatin membangun taman tengah untuk area serapan air hujan, dan menaikkan massa bangunan untuk antisipasi banjir. Di SDN 09 Grogol Selatan, yang berlokasi di tengah pemukiman padat minim vegetasi, D-Associates Architect merancang lantai atap untuk menjadi area bercocok-tanam (urban farming) sebagai upaya mengurangi paparan panas dan ruang ekstra untuk kegiatan siswa. Sementara itu, firma arsitek Djuhara+Djuhara, yang merancang bangunan SDN Ragunan 08 dan 09 serta SDN Duren Sawit 14, menyesuaikan massa bangunan dan ukuran lapangan dengan posisi pohon-pohon rimbun yang sudah ada di lokasi.
 
Manfaat memiliki bangunan sekolah yang hijau pun dapat langsung terasa. Dengan meningkatnya kualitas udara di lingkungan sekolah, risiko penyebaran partikel dan virus yang berbahaya di dalam ruangan dapat diminimalisir. Hadirnya pencahayaan dan ventilasi alami meningkatkan kenyamanan secara visual dan termal, sehingga menciptakan kegiatan belajar mengajar dapat berlangsung dalam suasana yang kondusif bagi siswa dan guru. Demikian pula dalam hal penghematan energi listrik, karena menurunnya kebutuhan penggunaan pencahayaan lampu dan pendingin udara.

“Bangunan sebelumnya menghabiskan biaya listrik mencapai Rp5 hingga Rp6 juta tetapi setelah [menjadi Sekolah Negeri Net Zero] hanya menghabiskan biaya Rp1,5 juta,” jelas Kepala Suku Dinas Pendidikan Jakarta Barat II, Junaedi, sebagaimana dilansir Antara, Jumat (30/9).
 
Anies pun berharap, Sekolah Negeri Net Zero dapat menghadirkan generasi penerus yang peduli pada masa depan bumi.
 
“Sekolah Negeri Net Zero melatih generasi muda Jakarta untuk menjadi penghuni bumi yang sadar lingkungan, bertanggung jawab merawatnya, dan memastikan generasinya akan meninggalkan bumi yang lebih baik bagi anak dan cucu mereka nanti,” pungkasnya.


Foto oleh Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta.
Related tags: