Perjanjian Paris atau Paris Climate Agreement adalah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum 196 negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca nasional dan membantu negara-negara berkembang dalam memerangi dampak terburuk dari krisis iklim yang sedang berlangsung saat ini.
Perjanjian yang dinaungi oleh Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) digagas untuk pertama kalinya hampir enam tahun yang lalu di COP21 di Paris pada 12 Desember 2015. Pada tanggal 31 Oktober 2016, Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris untuk komitmen internasional untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata global di bawah 1,5°C dari tingkat pra-industri. Perjanjian ini juga menetapkan tujuan untuk meningkatkan kapasitas dan ketahanan adaptif, serta mengurangi kerentanan terhadap bahaya iklim, sambil berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan. Perjanjian Paris adalah pencapaian yang menentukan dalam upaya membatasi perubahan iklim dan mencegah dampaknya yang berpotensi menimbulkan bencana.
Sebelum Perjanjian Paris, Protokol Kyoto di tahun 2005 memiliki landasan yang cukup sama, yaitu untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) secara global. Namun, kewajiban untuk menyusutkan GRK hanya berlaku untuk negara maju, dan mengabaikan fakta bahwa negara berkembang juga dapat menjadi penyumbang utama GRK dunia.
Krisis iklim di Jakarta
DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya adalah jantung perekonomian Indonesia, dan merupakan megacity terbesar keempat di dunia. Diperkirakan penduduk DKI Jakarta akan tumbuh menjadi 12 juta pada tahun 2050. Dengan pertumbuhan ini, DKI Jakarta memiliki berbagai tantangan yang harus diatasi. Ini termasuk kekurangan perumahan, ketersediaan air bersih dan dapat diandalkan, banjir, kemacetan lalu lintas dan rendahnya kualitas udara.
Jika tidak ada tindakan untuk mencegah perubahan iklim yang dilakukan dalam waktu yang cepat, dampak perubahan iklim terhadap lingkungan Jakarta dan penduduknya lama kelamaan akan menjadi bencana. Sebuah studi kerentanan di bawah RAD-API 2021 menunjukkan bahwa 17 kecamatan telah teridentifikasi sangat rentan terhadap bahaya iklim, di mana anak-anak dan orang tua sangat berisiko.
Sangat penting untuk DKI Jakarta mengambil tindakan dalam mengurangi emisinya sebagai kontribusi dalam membatasi kenaikan suhu di bawah 1,5°C. Pada tahun 2016, DKI Jakarta mencatat emisi gas rumah kaca sebesar 53,6 MtCO2e di antaranya 57% terkait dengan konsumsi listrik jaringan dan 22% untuk konsumsi bahan bakar untuk listrik non-jaringan. Analisis telah menunjukkan bahwa di bawah skenario business as usual, emisi akan tumbuh sebesar 400% di tahun 2050 dibandingkan tahun dasar 2010.
Aksi Jakarta
Sejalan dengan komitmen nasional, DKI Jakarta telah mengembangkan Climate Action Plan (CAP), menerbitkan Pergub No. 90/2021 tentang Rencana Pembangunan Rendah Karbon yang Berketahanan Iklim (RPRKD), dan Ikhtiar Jakarta sebagai dokumen dan pedoman strategis untuk mencapai target iklim yang selaras dengan Perjanjian Paris (membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C). Aksi yang termasuk dalam kedua dokumen tersebut akan diimplementasikan di wilayah Jakarta dari sekarang hingga 2050.
DKI Jakarta juga sudah memiliki inisiatif iklim yang sudah tersedia di seluruh wilayah Jakarta seperti fasilitas transportasi dan mobilitas yang bersifat berkelanjutan, inovasi untuk manajemen sampah, penggunaan energi terbarukan untuk lingkup kota dan expansi ruang terbuka hijau dan program adaptasi iklim. Untuk mempelajari lebih lanjut tentang aksi iklim di Jakarta, kunjungi tautan Aksi di website.