Dampak pencemaran udara tidak hanya mengancam kesehatan fisik, namun juga kesehatan mental kita. Penelitian menunjukkan bahwa udara yang kotor dapat mengganggu pernapasan dan menyebabkan berbagai macam penyakit paru-paru.¹ Meski efek potensial lainnya sedang diselidiki, banyak peneliti berpendapat bahwa polusi udara mungkin dapat menyebabkan beberapa kerusakan dini dan bertahan lama pada kesehatan mental, juga kognitif manusia.
Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Dr. Vivian Pun, ahli epidemiologi polusi udara Vital Strategies, menemukan bahwa paparan jangka panjang terhadap tingkat PM2.5 secara signifikan dikaitkan dengan gejala kecemasan sedang hingga parah dan gejala depresi. Penelitian ini dilakukan pada 4.000 lansia yang tinggal di seluruh Amerika Serikat, dengan bantuan data kesehatan mental dari National Social Life, Health and Aging Project (NSHAP) serta data partikel halus dari Badan Perlindungan Lingkungan AS.
Studi² tersebut adalah salah satu yang pertama kali meneliti keterkaitan polusi udara dan kesehatan mental, terutama untuk gejala depresi. Studi ini kemudian didukung oleh bukti yang berkembang yang menghubungkan paparan polusi udara dengan berbagai penyakit kesehatan mental (misalnya, depresi, kecemasan, bipolar, risiko bunuh diri) di antara orang dewasa³, juga baru-baru ini pada anak-anak dan remaja?. Studi selanjutnya juga melaporkan hubungan serupa antara polusi udara dan kesehatan mental di kota-kota dengan berbagai konsentrasi polusi, seperti di London (12,8ug / m3) dan Beijing (50,4 μg / m3).
Penjelasan mengenai proses dampak polusi udara terhadap kesehatan mental masih belum dipahami dengan baik. Namun, kemungkinan besar, beberapa faktor menyebabkan keterkaitan tersebut. Penelitian telah membuktikan bahwa PM2.5 dapat meningkatkan peradangan, stres oksidatif, kerusakan pembuluh darah dan degenerasi di otak. Hal ini dapat memicu respons seperti depresi; meningkatkan kadar hormon stres kortisol, dan memperburuk kondisi kesehatan jantung atau pernapasan utama (misalnya, stroke).² Temuan dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa menghirup PM2.5 dapat secara khusus berdampak pada kesehatan mental individu dengan riwayat penyakit kardiopulmoner (misalnya, stroke, gagal jantung), atau bagi mereka yang tinggal di komunitas dengan status sosial ekonomi rendah (misalnya, tingkat kemiskinan dan pengangguran yang tinggi). Pengamatan ini dapat dikaitkan dengan mekanisme biologis misalnya, seseorang yang mempunyai keadaan kesehatan yang buruk akan meningkatkan stress.²
Di DKI Jakarta, menurut data Kementerian Kesehatan?, penduduk dengan rentang usia 15 tahun ke atas memiliki prevalensi gangguan depresi sebesar 5,9%, yaitu hampir 500.000 orang. Selain itu, sebagian besar penduduk Jakarta telah terpapar paparan PM2,5 dalam jangka panjang, sekitar 40,00 µg/m3 setiap hari, di mana ambang batas aman yang direkomendasikan oleh WHO adalah 10 µg/m3. Mengingat hubungan antara paparan jangka panjang PM2.5 dan gangguan mental (misalnya depresi), manfaat peningkatan kualitas udara menjadi penting. Dengan meningkatnya kualitas udara, maka akan meningkat juga kesehatan mental penduduk, sekaligus menurunkan risiko akan penyakit tidak menular lainnya yang disebabkan oleh polusi udara.
Polusi udara dapat dicegah dalam banyak kasus, dan solusi berbasis bukti yang efektif tersedia untuk mengurangi polusi udara dari sumbernya. Saat ini, daerah perkotaan mungkin fokus untuk memerangi COVID-19, namun meningkatkan kualitas udara adalah langkah bertahap dan jangka panjang, bukan upaya yang menghasilkan hal yang instan. Saat kota dibebaskan kembali dari kebijakan lock down atau PSBB akibat COVID-19, pemerintah harus mempromosikan budaya "new normal" yang lebih sehat dan berkelanjutan. Salah satunya dengan mengidentifikasi sumber utama polusi udara di yurisdiksi mereka, dan memperkenalkan kebijakan berbasis bukti untuk mengendalikan emisi ini.
Pemerintah juga harus meningkatkan kesadaran dan mengatasi stigma kesehatan mental, membuat kebijakan dan undang-undang kesehatan mental untuk mendukung dan meningkatkan sistem kesehatan mental yang ada, dan memastikan akses yang lebih baik ke layanan dan perawatan kesehatan mental. Pada akhirnya, peningkatan kualitas udara yang berkelanjutan, ditambah dengan sistem kesehatan mental yang lebih baik, akan mengurangi gangguan mental, penyakit tidak menular lainnya, dan meminimalkan kerentanan terhadap penyakit menular seperti COVID-19.
Referensi;
¹9 out of 10 people worldwide breathe polluted air, but more countries are taking action. (n.d.). Diambil pada 29 September 2020, dari https://www.who.int/news-room/detail/02-05-2018-9-out-of-10-people-worldwide-breathe-polluted-air-but-more-countries-are-taking-action
²Pun, V. C., Manjourides, J., & Suh, H. (2017). Association of Ambient Air Pollution with Depressive and Anxiety Symptoms in Older Adults: Results from the NSHAP Study. Environmental health perspectives, 125(3), 342–348. https://doi.org/10.1289/EHP494
³Braithwaite I, Zhang S, Kirkbride JB, Osborn DPJ, Hayes JF. Air pollution (Particulate matter) exposure and associations with depression, anxiety, bipolar, psychosis and suicide risk: A systematic review and meta-analysis. Environ Health Perspect. 2019;127(12).
??Newbury JB, Arseneault L, Beevers S, et al. Association of air pollution exposure with psychotic experiences during adolescence. JAMA Psychiatry. 2019;76(6):614-623.
?Roberts, S., Arseneault, L., Barratt, B., Beevers, S., Danese, A., Odgers, C. L., . . . Fisher, H. L. (2019). Exploration of NO2 and PM2.5 air pollution and mental health problems using high-resolution data in London-based children from a UK longitudinal cohort study. Psychiatry Research, 272, 8-17. doi:10.1016/j.psychres.2018.12.050
?Jia, Z., Wei, Y., Li, X., Yang, L., Liu, H., Guo, C., . . . Li, Z. (2018). Exposure to Ambient Air Particles Increases the Risk of Mental Disorder: Findings from a Natural Experiment in Beijing. International Journal of Environmental Research and Public Health, 15(1), 160. doi:10.3390/ijerph15010160
?Situasi Kesehatan Jiwa di Indonesia. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Diambil pada 29 September 2020
?Calcia MA, et al. (2016). Stress and neuroinflammation: A systematic review of the effects of stress on microglia and the implications for mental illness. DOI: 10.1007/s00213-016-4218-9
?Braithwaite, Isobel., Zhang, Shuo., Kirkbride, James., Osborn, David., Hayes, Joseph., Air Pollution (Particulate Matter) Exposure and Associations with Depression, Anxiety, Bipolar, Psychosis and Suicide Risk: A Systematic Review and Meta-Analysis. 127 - 128. https://doi.org/10.1289/EHP4595.