Mengawal Kebijakan Udara Bersih di Jakarta

Dipublikasikan pada: 03 February 2023

 
Diskusi Publik: Mengawal Kebijakan Udara Bersih Jakarta, Sudah Sampai Mana?


Menghirup udara bersih adalah sebuah cita-cita yang terus diperjuangkan warga Jakarta. Mengawali tahun 2023, harapan itu hadir melalui upaya untuk mengawal langkah-langkah Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dalam mengimplementasikan Strategi Pengendalian Pencemaran Udara (SPPU). 
 
“SPPU merupakan bentuk komitmen Provinsi DKI Jakarta dalam membangun kota yang layak huni dan sehat bagi seluruh warga. Oleh karenanya, Pemprov DKI Jakarta membuka peluang kolaborasi maupun peran pengawasan bagi berbagai pemangku kepentingan di lintas-sektor demi terciptanya udara Jakarta yang sehat,” ungkap Yusiono A. Supalal, Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, dalam diskusi publik bertajuk Mengawal Kebijakan Udara Bersih Jakarta, Sudah Sampai Mana? yang diadakan oleh komunitas Bicara Udara, Rabu (25/1) lalu. 

Mulai berlaku tahun ini hingga 2030 mendatang, SPPU akan mengimplementasikan tiga strategi utama. Yang pertama adalah meningkatkan tata kelola pengendalian pencemaran udara, disusul oleh pengurangan emisi pencemar udara dari sumber bergerak seperti transportasi, dan dari sumber tidak bergerak seperti kegiatan industri dan penggunaan energi untuk aktivitas di dalam ruangan.  

Pengimplementasian SPPU memiliki sederet target penurunan beban emisi pada 2030 mendatang. Ada tujuh jenis emisi yang diatur, yaitu dua partikulat halus (PM2,5 dan PM10), karbon hitam (BC), karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), dan senyawa organik mudah menguap nonmetan (NMVOC). Untuk jenis polutan partikulat halus, misalnya, Pemprov DKI Jakarta menargetkan penurunan sebesar 56% untuk PM 10 dan 41% untuk PM2,5. Bilamana target-target ini tercapai, dampaknya diharapkan bisa terasa tidak hanya dari segi kualitas udara Jakarta, namun juga kesehatan warga. Pasalnya, polutan pencemar udara, seperti PM.2,5 yang berdiameter hingga 2,5 mikron yang dapat masuk ke tubuh manusia tanpa tersaring,  saking kecilnya, dapat menimbulkan berbagai dampak kesehatan. 
 
Dalam kesempatan yang sama, Co-Founder Bicara Udara Novita Natalia mengungkapkan, polusi udara menjadi masalah hulu dari banyak masalah kesehatan. Ia mencontohkan, menurut riset Universitas Indonesia pada 2019 menunjukkan, kenaikan 10 mikrogram polutan PM2,5 terasosiasi dengan 5,7% peningkatan kasus pneumonia. Dampak kesehatan dari polusi udara pun tidak semata jangka pendek seperti iritasi kulit dan infeksi saluran napas atas, namun juga jangka panjang seperti penyakit paru obstruktif dan kardiovaskuler. 
 
Oleh karenanya, Novita mengharapkan adanya langkah konkret dari Pemprov DKI Jakarta dalam meningkatkan peran serta masyarakat dalam rangka pengendalian pencemaran udara di Jakarta. Langkah ini dapat dimulai dengan transparansi data kualitas udara kepada publik, pelibatan publik dalam pengkajian dampak kesehatan dan ekonomi dari polusi udara, hingga pemberian sanksi tegas atas pelanggaran terkait pencemaran udara yang dilaporkan warga. 
 
“Melalui peningkatan peran serta masyarakat, publik mendapatkan akses informasi berkala tentang kemajuan SPPU melalui forum-forum diskusi,” ujar Novita. 
 
Partisipasi aktif masyarakat pun dapat dilakukan melalui berbagai cara. Tak hanya secara aktif mendorong pengesahan Keputusan Gubernur untuk pengimplementasian SPPU dan koordinasi lintas sektor terkait pencemaran udara, namun juga advokasi yang langsung dan terus-menerus ke para wakil rakyat. 
 
“Mengatasi polusi udara itu tidak cukup dengan mengajukan petisi, karena semuanya perlu berdasarkan kebijakan,” tutur Dr. dr. Gilbert Simanjuntak, Sp.M, Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta. 
 
Senada dengan Gilbert, Yusiono mengamini bahwa sebagai untuk mengimplementasikan kebijakan seperti SPPU membutuhkan kolaborasi lintas-sektor. Contohnya, DLH DKI Jakarta berwenang untuk mengadakan uji emisi kendaraan, namun tidak untuk menilang pengemudi kendaraan yang tidak lolos uji emisi, sehingga perlu adanya koordinasi dengan Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya).  
 
Langkah kolaborasi ini selaras dengan amanat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2021, yang memenangkan gugatan warga (citizen lawsuit) tentang polusi udara di Jakarta. Selain Gubernur DKI Jakarta, tergugat lainnya dalam gugatan warga yang diajukan pada 2019 tersebut adalah Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten. 
 
“Dengan tidak melakukan banding, kami memilih untuk mempercepat upaya untuk mengendalikan pencemaran udara, dan itu yang sampai saat ini kami lakukan,” pungkas Yusiono. 

More materials (courtesy of Bicara Udara): LINK 
Youtube Video: LINK
 
Related tags: